oemar bakrie

oemar bakrie
pendidikan konyol

kumpulan model-model pembelajaran judul PTK,SKRIPSI meningkatkan hasil belajar siswa

MODEL-MODEL PEMBELAJARAN

A.        PENDAHULUAN

Dalam upaya meningkatkan hasil pembelajaran IPA yang maksimal, para praktisi pendidikan IPA telah banyak memperkenalkan dan menerapkan berbagai metode dan pendekatan mengajar yang diramu dalam suatu model pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik mata pelajaran IPA. Dari beberapa model pembelajaran yang dikemukakan pakar pendidikan IPA, dapat dilihat bahwa pemilihan dan penerapan strategi pembelajaran yang digunakan mengalami pergeseran dari yang mengutamakan pemberian informasi (pemberian konsep-konsep IPA) menuju kepada strategi yang mengutamakan keterampilan-keterampilan berpikir yang digunakan untuk memperoleh dan menggunakan konsep-konsep IPA. Adanya pergeseran pemilihan strategi ini otomatis peran guru di kelas berubah, yaitu dari peran yang hanya sebagai penyampai bahan pelajaran (transformator) ke peran sebagai fasilitator atau dari teacher centered  ke  student centered. Pergeseran penekanan peran guru-siswa dalam proses pembelajaran ini tidak lepas dari tanggung jawab guru yang harus memperhatikan aspek-aspek pendidikan, yaitu di antaranya meningkatkan perkembangan kepribadian siswa secara keseluruhan.
Fakta di lapangan menunjukkan fenomena yang sebaliknya, yaitu proses pembelajaran IPA masih berorientasi pada teacher centered yaitu guru masih  menekankan pada peran  sebagai penyampai materi pelajaran (pengajar) daripada pendidik. Untuk membantu guru-guru IPA di lapangan dalam melaksanakan tugasnya menuju pada arah pembelajaran IPA yang berorientasi pada student centered, PPPG IPA melalui DIKLAT-DIKLAT Instruktur guru IPA mencoba menawarkan bentuk-bentuk/model-model pembelajaran IPA yang berorientasi pada student centered yang dilandasi teori belajar kognitif dan yang sekarang sedang banyak dibicarakan yaitu pandangan konstruktivisme.
Makalah ini berisi uraian mengenai model-model pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik mata pelajaran IPA, tokoh yang mengemukakannya, serta tujuan penggunaannya.
B.             TERMINOLOGI

1.         Pembelajaran
Di dalam makalah ini pembelajaran diartikan sebagai proses belajar mengajar. Dalam konteks pembelajaran terdapat dua komponen penting, yaitu guru dan siswa yang saling berinteraksi. Dengan demikian, dalam makalah ini, pembelajaran didefinisikan sebagai pengorganisasian atau penciptaan atau pengaturan suatu kondisi lingkungan yang sebaik-baiknya yang memungkinkan terjadinya belajar pada siswa.

2.         Model pembelajaran
Model pembelajaran dalam makalah ini diartikan sebagai suatu rencana mengajar yang memperlihatkan pola pembelajaran tertentu, dalam pola tersebut dapat terlihat kegiatan guru-siswa di dalam mewujudkan kondisi belajar atau sistem lingkungan yang menyebabkan terjadinya belajar pada siswa. Di dalam pola pembelajaran yang dimaksud l terdapat karakteristik  berupa rentetan atau tahapan perbuatan/kegiatan guru-siswa atau dikenal dengan istilah sintak dalam peristiwa pembelajaran. Secara implisit di balik tahapan pembelajaran tersebut terdapat rasional yang membedakan antara model pembelajaran yang satu dengan model pembelajaran yang lainnya.


C.         PENGGOLONGAN DAN JENIS-JENIS MODEL PEMBELAJARAN
Joyce dan Weil (1980) dalam bukunya Models of Teaching menggolongkan model-model pembelajaran ke dalam empat rumpun. Keempat rumpum model pembelajaran tersebut adalah sebagai berikut.

1.         Rumpun model-model pengolahan informasi
Model-model pembelajaran dalam rumpun ini bertitik tolak dari prinsip-prinsip pengolahan informasi, yaitu yang merujuk pada cara-cara bagaimana manusia menangani rangsangan dari lingkungan, mengorganisasi data, mengenali masalah, menyusun konsep, memecahkan masalah, dan menggunakan simbol-simbol.
Beberapa model pembelajaran dalam rumpun ini berhubungan dengan kemampuan pebelajar (siswa) untuk memecahkan masalah, dengan demikian dalam belajar siswa menekankan pada berpikir produktif. Sedangkan beberapa model pembelajaran lainnya berhubungan dengan kemampuan intelektual secara umum, dan sebagian lagi menekankan pada konsep dan informasi yang berasal disiplin ilmu secara akademis.
Jenis model-model pembelajaran yang termasuk ke dalam rumpun pengolahan informasi ini adalah seperti pada tabel 1.

TABEL 1
MODEL-MODEL PEMBELAJARAN
PENGOLAHAN INFORMASI
No
Model
Tokoh
Misi/tujuan/manfaat


1
Berpikir Induktif
Hilda Taba
Terutama ditujukan untuk pembentukan kemampuan berpikir induktif yang banyak diperlukan dalam kegiatan akademik meskipun diperlukan juga untuk kehidupan pada umumnya.

2.
Latihan inkuari
Richard Suchman
s.d.a

3.
Co



4.
Pembentuk
an konsep
Jerome Bruner
Dirancang terutama untuk pembentukan kemampuan berpikir induktif, tetapi juga untuk pengembangan konsep dan analisis

5
Perkembang
an kognitif
Jean Piaget
Irving Sigel
Edmun Sullivan
Lawrence Kohlberg
Dirancang terutama untuk pembentukan kemampuan berpikir/pengembangan intelektual pada umumnya, khususnya berpikir logis, meskipun demikian kemampuan ini dapat diterapkan pada kehidupan sosial dan pengembangan moral.


6.
Advance Organizer
David Ausubel
Dirancang untuk meningkatkan kemampuan mengolah informasi dan

7.
Memori
Harry Lorayne
Jerry Lucas

(Dikutip dari  Bruce Joyce dan Marsha Weil, 1980, Models of Teaching, Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall, Inc.)
2. Rumpun model-model Pribadi/individual
Model-model pembelajaran yang termasuk rumpun ini menekankan pada pengembangan pribadi. Model-model ini menekankan proses dalam “membangun/mengkonstruksi” dan mengorganisasi realita , yang memandang manusia sebagai pembuat makna. Seringkali, model-model pembelajaran rumpun ini memberikan banyak perhatian pada kehidupan emosional. Fokus pembelajaran ditekankan untuk membantu individu dalam mengembangkan hubungan produktif dengan lingkungannya dan untuk melihat dirinya sendiri.
Jenis-jenis model pembelajaran pribadi seperti tercantum pada tabel –2.












Tabel-2
Model-Model Pembelajaran Personal (Pribadi)

Model
Tokoh
Misi/Tujuan

Pengajaran Non Direktif
Carl Rogers
Penekanan pada pembentukan kemampuan belajar sendiri untuk mencapai pemahaman dan penemuan diri sendiri sehingga terbentuk konsep diri.
Latihan Kesadaran
Fritz Perls
William Schutz
Meningkatkan kemampuan/kapasitas seseorang dalam menjajagi /mengeks- plorasi dan menyadari pemahaman diri sendiri.
Sinektik
William Gordon
Pengembangan individu dalam hal kreativitas dan pemecahan masalah kreatif
Sistem Konseptual
David Hunt
Didisain untuk meningkatkan komplek- sitas pribadi dan fleksibilitas.
Pertemuan kelas
William Glasser
Pengembangan  pemahaman diri dan tanggungjawab pada diri sendiri dan kelompok sosial lainnya.
(Dikutip dari  Bruce Joyce dan Marha Weil, 1980, Models of Teaching, Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall, Inc.)
 


3. Rumpun model-model Interaksi Sosial
Model-model ini menekankan hubungan individu dengan masyarakat atau orang lain. Model-model ini memfokuskan pada proses dimana realitas adalah negosiasi sosial. Model-model pembelajaran kelompok ini  memberikan prioritas pada peningkatan kemampuan individu untuk berhubungan dengan orang lain untuk meningkatkan proses demokratis, dan untuk belajar dalam masyarakat secara produktif.
Tokoh-tokoh teori sosial juga peduli dengan pengembangan pikiran (mind)  diri sebagai pribadi dan materi keakademisan.
Jenis-jenis model pembelajaran rumpun Interaksi Sosial adalah seperti dalam tabel-3 berikut ini.






Tabel-3
Model-model Pembelajaran Interaksi Sosial
Model
Tokoh
Misi/tujuan

Kerja kelompok. (investigation group)
Herbert Thelen
John Dewey
Mengembangkan keterampilan keterampilan untuk berperan da-lam kelompok yang mene-kankan keterampilan komunikasi inter-personal dan kete-rampilan inkuari ilmiah. Aspek-aspek pengem-bangan pribadi merupakan hal yang penting dari model ini.
Inkuari Sosial
Byron Massialas Benjamin Cox
Pemecahan masalah sosial, uta-manya melalui inkuari ilmiah dan penalaran logis.
Jurisprudential
National Training Laboratory
Bethel, Maine
Donald  Oliver
James P.Shaver



Pengembangan keterampilan in-terpersonal dan kerja kelom-pok untuk mencapai, kesadar-an dan fleksibilitas pribadi
Didisain utama untuk melatih kemampuan mengolah infor-masi dan menyelesaikan isu kemasya-rakatan dengan kerangka acuan atau cara ber-pikir Jurisprudensial  (ilmu ten-tang hukum-hukum manusia)
Role playing (Bermain peran)
Fannie Shaftel George Shafted
Didisain untuk mengajak siswa dalam menyelidiki nilai-nilai pri-badi dan sosial melalui tingkah laku mereka sendiri dan nilai-nilai yang menjadi sumber dari penye-lidikan itu
Simulasi Sosial
Sarene Boocock,
Harold Guetzkow
Didisain untuk membantu penga-laman siswa melalui proses sosial dan realitas dan untuk menilai reaksi mereka terhadap proses-proses sosial tersebut, juga untuk mempe-roleh konsep-konsep dan kete-rampilan-keterampilan pengambilan keputusan.

(Dikutip dari  Bruce Joyce dan Marha Weil, 1980, Models of Teaching, Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall, Inc.)

4.Rumpun Model-model Perilaku
Semua model pembelajaran rumpun ini didasarkan pada suatu pengetahuan yang mengacu pada teori perilaku, seperti teori belajar, teori belajar sosial, modifikasi perilaku, atau perilaku terapi. Model- model pembelajaran rumpun ini mementingkan penciptaan lingkungan belajar yang memungkinkan manipulasi penguatan perilaku secara efektif sehingga terbentuk pola perilaku yang dikehendaki.
Adapun jenis-jenis model pembelajaran perilaku seperti pada tabel-4 berikut ini.









Tabel-4
Model-model Pembelajaran Rumpun  Perilaku

Model
Tokoh
Misi atau tujuan

Contingency Management (manajemen dari akibat/ha sil  perlakuan)
B.F. Skinner
Fakta-fakta, konsep-konsep dan keterampilan
Self Control
B.F. Skinner
Perilaku sosial/keterampilan-keterampilan
Relaksasi
Rimm & Masters Wolpe
Tujuan-tujuan pribadi
Stress Reduction
(pengurangan stres)
Rimm & Masters
Cara relaksasi untuk mengatasi kecemasan dalam situasi sosial
Assertive Trainin(Latihan  berekspresi)
Wolpe, lazarus, Salter
Menyatakan perasaan secara langsung dan spontan dalam situasi sosial
Desensititation
Wolpe
Pola-pola perilaku,keterampilan -keterampilan
Direct training
Gagne
Smith & Smith
Pola tingkah laku, keterampilan-keterampilan.
(Dikutip dari  Bruce Joyce dan Marha Weil, 1980, Models of Teaching, Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall, Inc.)

Pengajaran IPA pada umumnya akan lebih efektif bila diselenggarakan melalui model-model pembelajaran yang termasuk rumpun pemrosesesan informasi. Hal ini dikarenakan model-model pembelajaran ini menekankan pada bagaimana seseorang berpikir dan bagaimana dampaknya terhadap cara-cara mengolah informasi.
Model-model pembelajaran pemrosesan informasi didasarkan atas studi-studi dari beberapa sumber, yaitu sebagai berikut.
1.       Studi tentang berpikir
Sejak zaman Yunani Kuno, para ahli filsafat telah mengembangkan teori-teori tentang bagaimana otak bekerja dan bagaimana fungsi berpikir induktif dan deduktif. Selama periode sekarang, studi tentang berpikir telah dilaksanakan dengan menggunakan eksperimen laboratorium dan pengamatan terhadap individu dalam situasi problem solving. Simulasi komputer mengenai proses-proses mental telah dikembangkan dan semua pengetahuan teori pemrosesan informasi telah dikembangkan untuk membantu studi berpikir dan dalam problem solving.
2.       Ahli teori belajar
Beberapa tokoh teori belajar peduli terhadap pengembangan model untuk mengajarkan konsep. Menurut mereka, siswa menggunakan konsep-konsep yang mereka pelajari untuk memperoleh informasi. Untuk mengajarkan konsep, menurut pandangan ini akan mengubah sebagian proses berpikir individu. Salah satu dari tokoh teori belajar tersebut adalah David Ausubel, ia telah mengembangkan belajar verbal.
3.       Disiplin ilmu
Beberapa model pembelajaran telah dikembangkan untuk mengajarkan konsep-konsep utama atau sistem inkuari yang digunakan oleh para ahli disiplin ilmu dengan asumsi bahwa pada saat siswa belajar, proses dan gagasan mengenai disiplin (ilmu) , mereka gabungkan semua ini ke dalam sistem mereka sendiri dan hasilnya berupa perubahan tingkah laku. Dalam model pembelajaran rumpun pemrosesan informasi, ini terlihat pada model yang dikembangkan oleh Joseph Schwab dan kawan-kawannya dari Biological Sciences Study Committee.
4.       Studi tentang perkembangan intelektual
Para peneliti telah mempelajari proses-proses perkembangan intelektuan pada anak dan remaja. Studi ini memberikan peta (yang masih agak tentatif) mengenai perkembangan intelektual, tetapi dapat digunakan untuk mengembangkan teori-teori mengenai cara meningkatkan pengembangan intelektual itu. Untuk memberikan gambaran  itu, dalam model pembelajaran ini akan dikemukakan model yang dikembangkan oleh Jean Piaget. Ia merupakan pelopor pengembangan intelektual anak yang karyanya sering digunakan sebagai dasar untuk pengembangan model mengajar.
Di dalam makalah ini hanya akan diuraikan mengenai jenis-jenis model pembelajaran yang termasuk ke dalam rumpun pemrosesan informasi. Uraian model-model tersebut adalah sebagai berikut.
1.       Model pembentukan Konsep
Model pembelajaran ini dikembangkan oleh Jerome Bruner. Model ini muncul dari studi tentang proses berpikir.
Menurut Bruner, suatu konsep memiliki lima komponen, yaitu 1) nama, 2) contoh-contoh, 3) atribut (esensial dan non esensial), 4) nilai atribut, dan 5) aturan. Memahami suatu konsep berarti mengetahui semua komponen ini.
Nama, merupakan istilah yang diberikan pada suatu kategori, sebagai contoh : konsep pohon, konsep pohon berasal dari sejumlah tumbuh-tumbuhan yang mempunyai karakteristik-karakteristik umum. Karakteristik (ciri-ciri ) ini disebut atribut. Suatu konsep didefinisikan oleh atribut-atributnya. Sebagai contoh konsep pohon didefinisikan oleh atributnya di antaranya memiliki akar, batang, ranting, cabang, dan daun.  Atribut-atribut ini merupakan konsep juga.
Contoh, mengacu pada kejadian konsep. Misalnya di hadapan Anda terdapat sejumlah buah-buahan, akan tetapi kebanyakan dari buah-buahan itu adalah jenis apel dan satu atau dua buah merupakan jeruk dan pir. Dengan demikian konsep yang dibentuk adalah buah apel (yang merupakan contoh positif) dan jeruk serta pir merupakan non contoh . Contoh-contoh yang esensial merupakan nilai atribut. Sedangkan aturan merupakan definisi  atau pengaturan yang spesifik dari atribut-atribut esensial yang membentuk suatu konsep.
Bruner juga mengemukakan tahap-tahap perkembangan intelektual, yang meliputi enaktif, berpikir dengan cara manipulasi secara kongkrit; ekonik, dapat membayangkan melalui suatu gambar; dan simbolik, yaitu berpikir secara abstrak. Berdasarkan hal ini, maka Bruner melihat bahwa pebelajar (siswa) dapat  memperluas pengetahuannya melalui proses pengembangan dan pengujian hipotesis. Ternyata hal ini sesuai dengan prinsip belajar penemuan (Discovery learning).
Belajar penemuan biasanya dimulai dengan menghadapkan siswa pada suatu situasi yang membingungkan atau suatu masalah. Kemudian siswa dituntut untuk membandingkan realita di luar dirinya dengan model-model mental yang telah dimilikinya. Dengan pengalaman-pengalamannya, ia akan mencoba untuk menata kembali struktur-struktur gagasannya dalam rangka untuk meningkatkan hingga mencapai keadaan yang seimbang. Untuk mencapai hal ini, ia harus mencoba mengadakan sintesis dan analisis untuk menemukan informasi baru dan menyingkirkan informasi yang tidak diperlukan serta mengubah gagasan-gagasan tersebut.
Proses pembelajaran untuk membentuk konsep ini berlangsung melalui tiga fase, yaitu sebagai berikut.
Fase pertama: Penyajian data dan identifikasi konsep
Guru menyajikan contoh-contoh konsep. Siswa membandingkan atribut dalam contoh positif dan negatif. Siswa menggeneralisasikan dan menguji hipotesis. Selanjutnya siswa menyatakan suatu definisi menurut atribut-atribut esensial yang ditemukan.
Fase kedua: Pengujian  konsep
Siswa mengidentifikasi konsep dengan menambahkan contoh-contoh yang dilabeli “ya” dan “tidak”. Guru mengkonfirmasikan hipotesis siswa, nama konsep, dan pernyataan definisi menurut atribut esensial. Siswa menemukan contoh-contoh konsep.
Fase ketiga: Analisis strategi berpikir
Siswa menjelaskan apa yang dipikirkannya. Siswa mendiskusikan peran hipotesis dan atribut. Siswa mendiskusikan jenis dan jumlah hipotesis.
Di dalam model pembelajaran pembentukan konsep ini, guru berfungsi sebagai pengontrol proses belajar dalam kelas. Selama pembelajaran, guru diharapkan membantu siswa dalam menemukan dan menyusun hipotesis untuk kemudian didiskusikan dan dibandingkan dengan hipotesis yang disusun oleh siswa yang lain.
Model pembelajaran pembentukan konsep ini dapat menjadi alat penilaian yang baik apabila guru ingin menentukan apakah gagasan-gagasan penting yang telah diperkenalkan telah dikuasai siswa atau belum. Model pembelajaran ini dengan cepat dapat mengungkapkan kedalaman pemahaman siswa dan dapat menguatkan pengetahuan siswa sebelumnya.
Di dalam penggunaannya, model pembelajaran pembentukan konsep ini mempunyai dampak pengajaran langsung (Instructional effects) dan dampak pengajaran iringan (Nurturant effects). Dampak pengajaran langsung dan dampak iringan dari penggunaan model pembelajaran pembentukan konsep adalah sebagai berikut.
 





                        
                                Dampak langsung                                               Dampak iringan
2.       Model Pembelajaran berpikir Induktif
Model  pembelajaran ini dikemukakan oleh Hilda Taba. Ia menganalisis berpikir dari sudut psikologi dan butir-butir logika, kemudian ia menyimpulkan bahwa :
“Sementara proses-proses berpikir itu merupakan proses psikis, oleh karena itu terpengaruh oleh proses analisis psikologis, produk dan isi berpikir harus dinilai dengan kriteria logis dan dinilai oleh aturan aturan logis.”
Taba mengajukan tiga postulat mengenai berpikir, yaitu sebagai berikut,
1.       Proses berpikir dapat dipelajari.
2.       Proses berpikir merupakan transaksi aktif antara individu dan data. Hal ini berarti bahwa dalam situasi di kelas, bahan-bahan pelajaran menjadi sesuai bagi individu bila ia membentuk operasi-operasi kognitif tertentu terhadap bahan pelajaran tersebut dengan cara mengorganisasi fakta-fakta ke dalam sistem konseptual, menghubungkan butir-butir dalam data pada yang lainnya dan menggeneraralisasikan fakta-fakta, mempre- diksi, dan menjelaskan fenomena-fenomena yang tidak dikenal. Operasi mental ini tidak dapat diajarkan secara langsung tanpa melalui bahan-bahan pelajaran. Peran guru adalah membatu siswa dalam hal menginternalisasikan dan mengkonsep- tualisasikan proses-proses mental tersebut.
Prinsip mengajar dengan model ini meminta guru agar melihat tugas-tugas kognitif apa yang dapat diberikan kepada siswa pada waktu yang tepat. Fungsi utama guru adalah sebagai pemonitor cara-cara siswa melakukan proses informasi. Guru harus menentukan kesiapan siswa untuk menerima pengalaman baru.
Adapun sintak (tahapan) pembelajaran dengan menggunakan model berpikir induktif ini adalah sebagai berikut.



Strategi pertama: pembentukan konsep
Fase 1: menyebutkan dan menyusun daftar konsep (proses mental: membedakan)
Fase 2: mengelompokkan (proses mental :mengenali ciri-ciri umum dan mengabtraksikan)
Fase 3: memberi label dan mengkategorikan (proses mental :menentukan urutan secara hierarkis)
Strategi kedua: Interpretasi data
Fase 4: mengidentifikasi butir-butir dimensi dan hubungan (proses mental: membedakan)
Fase 5 menjelaskan butir-butir informasi yang telah diidentifikasikan (proses mental: menghubungkan butir demi butir dan menentukan hubungan sebab akibat)
Fase 6: merumuskan kesimpulan ((proses mental: menemukan implikasi dan ekstrapolasi)


Strategi ketiga: Aplikasi konsep/prinsip-prinsip
Fase 7 : berhiporesis, memprediksi konsekuensi, menjelaskan fenomena yang tidak biasa (proses mental : menganalisis hakikat dari situasi atau masalah dan mendapatkan kembali pengetahuan yang relevan)
Fase 8: menjelaskan dan atau mendukung ramalan dan hipotesis (proses mental: menentukan hubungan kausal yang menuju ke prediksi dan hipotesis)
Fase 9: menguji ramalan (proses mental: menggunakan prinsip-prinsip atau pengetahuan faktual yang logis dalam rangka menetukan kondisi yang diperlukan)





Model pembelaran berpikir induktif ini dalam penggunaannya memiliki dampak pengajaran langsung dan iringan sebagai berikut.


 














Dampak pengajaran langsung
Dampak pengajaran iringan
3.       Model pembelajaran Latihan Inkuari
Latihan inkuari berasal dari suatu keyakinan bahwa siswa memiliki kebebasan dalam belajar. Model pembelajaran ini menuntut partisipasi aktif siswa dalam inkuari (penyelidikan) ilmiah. Siswa memiliki keingintahuan dan ingin berkembang, dan latihan inkuari menekankan pada sifat-sifat siswa ini, yaitu memberikan kesempatan pada siswa untuk bereksplorasi dan memberikan arah yang spesifik sehingga area-area baru dapat tereksplorasi dengan lebih baik. Tujuan umum dari model latihan inkuari adalah membantu siswa mengembangkan keterampilan intelektual dan keterampilan-keterampilan lainnya, seperti mengajukan pertanyaan dan menemukan (mencari) jawaban yang berawal dari keingintahuan mereka.
Model pembelajaran latihan inkuari dikemukan oleh Richard Suchman, ia menginginkan siswa untuk bertanya mengapa suatu peristiwa terjadi, kemudian siswa melakukan kegiatan, mencari jawaban, memproses data secara logis, sampai akhirnya siswa mengembangkan strategi pengembangan intelektual yang dapat digunakan untuk menemukan mengapa  suatu fenomena bisa terjadi.
Model pembelajaran latihan inkuari ini memiliki lima fase sebagai sintak pembelajarannya. Adapun kelima fase tersebut adalah sebagai berikut.
Fase 1: berhadapan dengan masalah
Guru menjelaskan prosedur inkuari dan menyajikan peristiwa yang membingungkan
Fase 2:pengumpulan data untuk verifikasi
Menemukan sifat obyek dan kondisi. Menemukan terjadinya masalah.





Fase 3: pengumpulan data dalam eksperimen
Mengenali variabel-variabel yang relevan, merumuskan hipotesis dan mengujinya.
Fase 4: Merumuskan penjelasan
Merumuskan aturan-aturan atau penjelasan-penjelasan.
Fase 5: Mengalisis proses inkuari
Menganalisis strategi inkuari dan mengembangkannya menjadi lebih efektif.







Di dalam penggunaannya, model ini memiliki dampak pengajaran langsung dan iringan sebagai berikut.


 















                       Dampak langsung                                  Dampak iringan

4.       Model Pembelajaran Advance Organizer
Model pembelajaran ini dikembangkan oleh David Ausubel. Ia adalah salah seorang penganut aliran psikologi perkembangan kognitif sama halnya dengan Piaget dan Bruner. Ia menekankan pada cara belajar secara verbal bermakna, yaitu suatu cara belajar yang menurut dia merupakan kenyataan dalam praktik pengajaran yang berlangsung di sekolah-sekolah.
Ausubel sangat peduli untuk membantu guru dalam menyajikan informasi secara bermakna dan secara efisien. Teorinya digunakan pada situasi bila guru berperan sebagai penceramah atau sebagai pemmberi penjelasan. Model pembelajaran yang dikemukakanya dirancang untuk menguatkan struktur kognitif siswa ketika mempelajari pengetahuan. Selanjutnya menurut Ausubel, setiap pengetahuan (ilmu) mempunyai struktur konsep tertentu yang membentuk kerangka dari sistem pemrosesan informasi yang dikembangkan dalam ilmu itu. Tugas guru dalam mengajar pertama-tama adalah menyajikan kerangka konsep yang umum dan menyeluruh untuk kemudian dilanjutkan dengan penyajian informasi yang lebih spesifik. Kerangka umum (organizer) tersebut akan berfungsi sebagai penyusun  yang mengorganisasikan semua informasi berikutnya yang akan diasimilasikan oleh siswa.
Sintak pembelajaran model advance organizer ini terdiri atas tiga fase, yaitu sebagai berikut.
Fase 1: Penyajian advance organizer
a.          Mengklarifikasi tujuan pengajaran
b.          Menyajikan organizer
¨         Mengidentifikasikan atribut
¨         Memberi contoh-contoh
¨         Menyediakan/mengatur suasana/konteks
¨         Mengulangi.
¨         Memancing dan mendorong pengetahuan dan pengalaman dari siswa.
Fase 2: Penyajian bahan pelajaran
§  Membuat organisasi secara tegas
§  Membuat urutan bahan pelajaran secara logis dan eksplisit
§  Memelihara suasana agar siswa penuh prhatian
§  Menyajikan bahan.
Fase 3” Penguatan organisasi kognitif
§  Menggunakan prinsip-prinsip
§  Meningkatkan kegiatan belajar (belajar menerima)
§  Meningkatkan pendekatan kritis tentang pokok bahasan
§  Mengklarifikasikan.
Dalam penggunaannya, model pembelajaran advance organizer ini mempunyai dampak pengajaran langsung dan iringan sebagai berikut.


 









Dampak langsung                   Dampak iringan

5. Model Pembelajaran Perkembangan Kognitif
       Model pembelajaran ini dikembangkan oleh Jean Piaget, seorang ahli psikologi perkembangan dari Swiss. Model ini dikembangkan dengan bertitik tolak dari perkembangan kognitif. Piaget meyakini bahwa tingkat berpikir manusia akan meningkat ke arah yang lebih kompleks dalam tahap-tahap tertentu. Setiap tahap perkembangan berpikir ini mempunyai ciri-ciri tertentu. Piaget menekankan belajar sebagai suatu proses pengolahan informasi yang aktif. Konsep-konsep dasar teori belajar Piaget terdiri atas asimilasi dan akomodasi. Menurutnya, proses belajar merupakan proses pengembangan skema-skema baru melalui akomodasi. (baca kembali teori belajar Piaget).
       Model pembelajaran perkembangan kognitif ini berasal dari prinsip-prinsip wawancara klinis yang dikembangkan Piaget. Dalam model ini menuntut guru untuk memberikan tugas kepada siswa dan mencatat bagaimna siswa berinteraksi  dengan tugas tersebut.
       Model pembelajaran ini terdiri atas tiga fase, yaitu sebagai berikut.
Fase 1: Mengkonfrontasikan para siswa dengan masalah.
Pada fase ini guru menyajikan situasi yang membingungkan (tidak logis menurut pikiran siswa) atau merupakan teka-teki bagi siswa. Masalah yang disajikan harus relevan dengan perkembangan inteketual siswa.
Fase 2: Inkuari
Pada fase ini, guru memancing respon siswa serta meminta mereka mengajukan pertimbangannya. Siswa mengajukan sanggahan dan guru menggali respon yang lebih dalam. Pada fase ini guru dapat menentukan tingkat penalaran siswa.
Fase 3 : Trasfer
Pada fase ini guru menyajikan tugas yang berhubungan dengan tugas pada fase 1 dan menggali penalaran siswa. Tujuan utama dari fase ini untuk melihat apakah siswa akan memberikan penalaran yang sama dengan tugas yang berhubungan tersebut. Guru sekali lagi menyajikan masalah, dan meminta siswa membuat pertimbangan, guru meminta siswa untuk mengetahui alasan dari jawaban siswa dan kemudian meminta siswa untuk mengajukan saran-saran balasan.
Dalam penggunaannya, model ini mempunyai dampak pengajaran langsung dan iringan sebagai berikut.


 











Dampak pengajaran
Dampak iringan


Model Pembelajaran yang Berorientasi pada Konstruktivisme
Pandangan umum yang masih dianut guru dan masih berlaku sekarang adalah bahwa dalam proses belajar mengajar,  pengetahuan diberikan oleh guru dan diterima oleh siswa. Keberhasilan dalam belajar diukur dari sejauh mana siswa dapat menunjukkan bahwa mereka dapat mengungkapkan pengetahuan yang diinginkan oleh guru. Jika yang diungkapkan tidak sesuai dengan yang diinginkan guru maka siswa dianggap tidak belajar. Dengan asumsi ini, maka guru berusaha sangat aktif dalam menyampaikan informasi (dengan ceramah) dan siswa hanya mendengar dan mencatat. (Nggandi K, 1999:1).
Banyak ahli pendidikan mengemukakan pandangan tentang belajar dan mengajar yang berbeda dengan pandangan umum di atas. Beberapa pandangan tentang belajar menurut beberapa ahli di antaranya sebagai berikut.
Piaget (1975) dalam Nggandi Katu (1999:1) menyatakan bahwa:
pengetahuan bukan merupakan sebuah copy dari sebuah obyek, untuk mengetahui sebuah gejala atau kejadian, bukan sekedar membuat suatu “mental copy” atau bayangan tentang sebuah obyek. Mengetahui adalah memodifikasi, menstransformasi obyeknya, dan mengerti proses tranformasinya. Sebuah operasi adalah inti dari pengetahuan; operasi adalah aksi dalam pikiran yang memodifikasi obyek pengetahuan”.
Sedangkan Bruner (1961) dalam Nggandi Katu (1999:2) mengemukakan bahwa proses belajar adalah proses mencari pengetahuan atau yang disebutnya dengan “inquiry or discovery learning”.
Berdasarkan adanya pandangan-pandangan mengenai belajar yang berbeda dengan pandangan umum di atas, maka sekarang ini muncul pandangan baru mengenai belajar yang dikenal dengan nama teori belajar konstruktivisme.
   Menurut pandangan konstruktivis, pengetahuan yang dimiliki oleh setiap individu adalah hasil konstruksi secara aktif dari individu itu sendiri. Individu itu tidak sekedar mengimitasi dan membentuk bayangan dari apa yang diamati atau diajarkan guru, tetapi secara aktif individu itu menyeleksi, menyaring, memberi arti dan menguji kebenaran atas informasi yang diterimanya. Pengetahuan yang dikonstruksi individu merupakan hasil interpretasi yang bersangkutan terhadap peristiwa atau informasi yang diterimanya. Para pendukung konsktruktisme berpendapat bahwa pengertian yang dibangun setiap individu siswa dapat berbeda dari apa yang diajarkan guru (Bodner, 1987 dalam Nggandi Katu , 1999:2). Sedangkan Paul Suparno (1997:61) mengemukakan bahwa menurut pandangan konstruktivis, belajar merupakan proses aktif pebelajar mengkonstruksi arti (teks, dialog, pengalaman fisis, dan lain-lain). Belajar juga merupakan proses mengasimilasikan dan menghubungkan pengalaman atau bahan yang dipelajari dengan pengertian yang sudah dipunyai seseorang sehingga pengertiannya dikembangkan.
Proses belajar yang bercirikan konstruktivisme adalah sebagai berikut.
1.       Belajar berarti membentuk makna.
2.       Konstruksi arti adalah proses yang terus menerus.
3.       Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, melainkan lebih dari itu, yaitu pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian baru.
4.       Proses belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skema seseorang dalam keraguan yang meransang pemikiran lebih lanjut. Situasi ketidakseimbangan adalah situasi yang baik untuk memacu belajar.
5.       Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman pebelajar dengan dunia fisik dan lingkungannya.
6.       Hasil belajar seseorang tergantung pada apa yang telah diketahui si pebelajar (konsep, tujuan, motivasi) yang mempengaruhi interaksi dengan bahan yang dipelajari (Paul Suparno, 1997:61)
              Dengan adanya pandangan ini, maka karakteristik iklim pembelajaran yang sesuai dengan konstruktivisme adalah sebagai berikut.
1.       Siswa tidak dipandang sebagai suatu yang pasif melainkan individu yang memiliki tujuan serta dapat merespon situasi pembelajaran berdasarkan konsepsi awal yang dimilikinya.
2.       Guru hendaknya melibatkan proses aktif dalam pembelajaran yang memungkinkan siswa mengkonstruksi pengetahuannya.
3.       Pengetahuan bukanlah sesuatu yang datang dari luar, melainkan melalui seleksi secara personal dan sosial.
           Iklim pembelajaran tersebut menuntut guru untuk :
1.       mengetahui dan mempertimbangkan pengetahuan awal siswa,
2.        melibatkan siswa dalam kegiatan aktif, dan
3.       memperhatikan interaksi sosial dengan melibatkan siswa dalam diskusi kelas atau kelompok. (Horison, et al; Hewson, 1935, Bell, 1923, Driver & Leach, 1993 dalam Medriati Rosane , 1997 : 12)
Ada beberapa model pembelajaran yang mengacu pada konstruktivisme. Beberapa model pembelajaran tersebut di antaranya sebagai berikut.
1. Model  Siklus Belajar
           Lawson, Anton E. (1995: 153) mengemukakan bahwa dalam merancang pembelajaran yang mengembangkan konsep-konsep pengetahuan maupun keterampilan berpikir, ada beberapa unsur yang harus diperhatikan, yaitu sebagai berikut.
1.       Siswa harus menggali fenomena baru yang didasarkan pada keyakinan yang telah dimiliki siswa (konsep-konsep dan sistem konseptual), atau didasarkan pada prosedur maupun keterampilan berpikir yang  telah dikenalnya pula.
2.       Langkah di atas harus didahului  oleh  hal-hal yang membuat mereka bingung atau hal-hal yang kontradiktif sehingga menghasilkan ketidakseimbangan berpikir dan pertanyaan-pertanyaan yang akan meningkatkan provokasi argumentasi dan berpikir dalam bentuk  jika…dan…,  maka… Dengan  cara ini siswa diharapkan berusaha merefleksikan keyakian atau prosedur  yang telah dimilikinya untuk mencari pemecahan terhadap  fenomena baru tersebut.
3.       Selanjutnya guru haruslah mengakomodasi berbagai jawaban sementara, baik yang diajukan oleh siswa maupun sebagai hasil intervensi yang dilakukan guru.
4.       Jawaban sementara tersebut haruslah digunakan untuk membangkitkan argumen-argumen, prediksi-prediksi atau data baru yang memungkinkan dapat mengubah keyakinan atau konstruksi pengetahuan lama siswa lama terhadap konsep baru yang diperkenalkan.
5.       Untuk dapat memungkinkan terjadinya pengaturan-sendiri sebagai upaya untuk mencapai kemantapan keseimbangan baru, berbagai pengalaman baru haruslah disediakan bagi siswa untuk menguji dan mengembangkan konsep-konsep atau prosedur-prosedur baru dan dapat diaplikasikan pada berbagai macam konteks yang terkait.
             Di samping langkah-langkah di atas, agar pengajaran dapat dilaksanakan secara lebih efektif, maka ada 3 fase yang harus diperhatikan yang oleh Karlplus dan Thier (1967) dinamai fase Eksplorasi (Exploration), fase Penelusuran (Invention), dan fase Penemuan (Discovery). Tetapi belakangan oleh Lawson (1988) fase-fase tersebut dinamai fase Eksplorasi (Exploration), fase Pengenalan Istilah (Term introduction), dan fase Penerapan Konsep (Concept application).
             Fase pertama adalah fase eksplorasi. Pada fase ini siswa belajar melalui tindakan-tindakan dan reaksi-reaksi yang telah mereka miliki terhadap situasi baru. Mereka menggali materi-materi baru dan ide-ide baru dengan bimbingan yang minimal. Pengalaman baru mereka akan membangkitkan pertanyaan-pertanyaan dan menimbulkan kerumitan-kerumitan yang pada suatu ketika tidak dapat mereka pecahkan dengan cara berpikir mereka. Jadi melalui fase ini, guru memberikan kesempatan dan pengalaman baru kepada siswa yang dapat menimbulkan konflik-konflik berpikir serta menimbulkan pertentangan dan analisis terhadap ide dan pemikiran mereka sendiri. Pada akhirnya analisis tersebut dapat memunculkan pembahasan-pembahasan untuk menguji ide-ide alternatif melalui prediksi-prediksi. Proses ini akan memunculkan beberapa ide sekaligus menghilangkan ide-ide lainnya yang tidak relevan dalam pola siklus dari pengaturan-sendiri. Dan hal ini juga akan menimbulkan kehati-hatian dalam menguji prosedur dalam siklus ini. Eksplorasi harus didahului oleh identifikasi terhadap pola keteraturan dari suatu fenomena.
             Fase Eksplorasi juga menungkinkan siswa berinteraksi dengan  fenomena melalui cara mereka masing-masing yang dapat menguji baik keterampilan observasi maupun dalam berhipotesis.
             Fase kedua pengenalan istilah (term instroduction),  yang dimulai dengan memperkenalkan istilah baru yang merujuk pada pola yang sudah ditemukan pada fase eksplorasi. Istilah ini dapat diterangkan oleh guru atau melalui buku, film atau media lainnya. Tahap ini harus selalu diikuti eksplorasi dan dihubungkan dengan pola-pola yang mereka temukan dalam setiap kegiatan eksplorasi.
             Fase ketiga yaitu penerapan konsep (concept application). Di sini siswa mencoba mengaplikasikan istilah (term) atau pola pikir baru pada situasi permasalahna baru. Penerapan diusahakan dengan banyak variasi agar pengertian baru yang telah mereka peroleh lebih mantap dan permanen. Perlu diperhatikan di sini bahwa konsep adalah pola mental yang direpresentasikan melalui label verbal  (dalam hal ini berarti istilah). Jadi konsep tiada lain adalah pola plus istilah. Guru dapat memperkenalkan istilah, tetapi yang lebih penting siswa harus dapat mempersepsi istilah tersebut dengan kemampuan mereka sendiri.
             Dari ketiga fase tersebut, maka eksplorasi (exploration) memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan pola-pola. Pengenalan Istilah (term introduction) memungkinkan guru dengan kesempatannya dapat memperkenalkan istilah, dilain pihak siswa dengan kesempatannya dapat menghubungkan pola-pola dengan istilah yang merupakan pembentukan konsep. Akhirnya dengan Penerapan Konsep (concept aplication) memungkinkan siswa untuk menemukan penerapannya (juga non aplications) dari konsep-konsep tersebut kepada konteks-konteks baru.
Ketiga fase dalam siklus belajar dapat digambar dalam bentuk spiral seperti tampak pada pada Bagan 1.


BAGAN.1 
SIKLUS BELAJAR JENIS SPIRAL
 






















(Sumber : Lawson, 1995,  Science Teaching and the Development of Thinking)


           Adapun berdasarkan jenisnya, siklus belajar dapat diklasifikasikan ke dalam tiga jenis, yaitu: descriptive, empirical-abductive, dan hypothetical-deductive. Perbedaan di antara ketiganya terletak pada derajat siswa dalam mencapai penggambaran alam atau dalam menghasilkan hipotesis dan mengujinya.
           Pada siklus belajar descriptive, siswa menemukan dan menggambarkan sebuah pola empiris dalam suatu konteks khusus (eksplorasi). Guru memberikan nama (pengenalan istilah), dan pola, kemudian diidentifikasi dalam konteks (aplikasi konsep). Jenis ini dinamai deskriptive, karena siswa dengan  guru sama-sama menggambarkan apa yang mereka amati tanpa pencapaian terhadap penjelasan mengenai apa yang mereka amati. Siklus belajar descriptive menjawab pertanyaan tentang “Apa?” tetapi tidak meningkat pada sebab-akibat “Mengapa?”
           Dalam siklus belajar empirical-abductive siswa juga menemukan dan menggambarkan sebuah pola empiris dalam konteks khusus (exploration), tetapi diikuti oleh penciptaan pola-pola mengenai berbagai penyebabnya. Untuk itu dibutuhkan suatu abduksi untuk mentransfer istilah (term) dan konsep yang dipelajari pada suatu konteks ke dalam konteks baru (term instroduction). Istilah tersebut mungkin dikenali oleh siswa, dapat juga diperkenalkan oleh guru, atau oleh keduanya. Dengan dibimbing oleh guru, selama fase eksplorasi siswa mengumpulkan data untuk melihat konsistensi hipotesis dengan data dan mengenali fenomenanya (concept application). Dengan kata lain, observasi dibuat dalam peragaan descriptive, meskipun dalam jenis siklus belajar ini lebih lanjut dapat menciptakan (melalui abduksi) dan menguji hukum sebab-akibat, yang dalam hal ini disebut empirical-abductive.
           Jenis ketiga siklus belajar yaitu Hypothetical-deductive melibatkan pernyataan tentang pertanyaan sebab-akibat yang menggiring siswa pada pertanyaan dan menciptakan penjelasan alternatifnya. Siswa diberi waktu untuk melakukan deduksi terhadap konsekuensi logis dari penjelasannya dan merencanakan percobaan untuk mengujinya (exploration). Hasil analisis terhadap percobaannya memunculkan beberapa hipotesis yang diperkuat, mungkin juga ada yang dibuang karena tidak sesuai dengan fakta yang diperoleh dalam percobaan, dan ada  beberapa istilah (term) yang ditemukan (term introduction). Akhirnya dihasilkan konsep-konsep dan pola berpikir yang relevan dan didiskusikan, sehingga dapat diterapkan dalam situasi yang lain dikemudian hari (concept applications). Jenis siklus belajar ini membutuhkan penciptaan eksplisit dan pengujian hipotesis alternatif melalui perbandingan deduksi logis dengan fakta empiris yang dihasilkan, dan itulah mengapa jenis siklus belajar ini dinamakan hypothetical-deductive.
           Beberapa langkah yang digunakan dan diimplementasikan dalam ketiga jenis siklus belajar dimaksud di atas, adalah sebagai berikut :
1)        Siklus Belajar Descriptive
a)  Guru mengidentifikasi konsep-konsep yang akan  diajarkan.
b) Guru mengidentifikasi beberapa fenomena yang melibatkan pola-pola yang didasarkan pada konsep-konsep dimaksud.
c)Fase Eksplorasi : Siswa menggali fenomena dengan tujuan menemukan dan menggambarkan pola.
d)       Fase Pengenalan Istilah : Siswa melaporkan data dan bersama guru menggambarkan pola-pola, guru kemudian memperkenalkan istilah yang merujuk pada pola-pola.
e)Fase Penerapan Konsep : Mendiskusikan fenomena atau menggalinya dengan melibatkan konsep yang sama.
2)       Siklus Belajar Empirical-abductive
a)  Guru mengidentifikasi konsep-konsep yang akan diajarkan.
    b) Guru mengidentifikasi beberapa fenomena yang melibatkan pola-pola dimana konsep-konsep didasarkan kepadanya.
c)    Fase Eksplorasi : Guru atau siswa mengajukan pertanyaan deskriptif dan pertanyaan kausal.
d)  Siswa mengumpulkan data untuk menjawab pertanyaan deskriptif.
e)  Data untuk menjawab pertanyaan deskriptif diperagakan di papan tulis.
f)     Pertanyaan deskriptif telah terjawab, tetapi pertanyaan kausal meningkat.
g)   Muncul hipotesis alternatif untuk menjawab pertanyaan kausal, dan selanjutnya dibutuhkan pengumpulan data kembali untuk menguji hipotesis tersebut.
h)   Fase Pengenalan Istilah : Istilah diperkenalkan dalam kaitannya dengan fenomena yang sedang digali dan untuk lebih memperjelas hipotesis yang diajukan.
i)     Fase Penerapan Konsep : Fenomena didiskusikan atau digali dengan melibatkan konsep-konsep sejenis.
            3)   Siklus Belajar Hypothetical-deductive
a)       Guru mengidentifikasi konsep (atau konsep-konsep) yang akan diajarkan.
b)       Guru mengidentifikasi beberapa fenomena yang melibatkan pola-pola dimana konsep-konsep itu didasarkan kepadanya.
c)Fase Eksplorasi : Siswa menggali fenomena yang dapat meningkatkan pertanyaan kausal, atau guru meningkatkan pertanyaan kausal tersebut.
d)       Dalam diskusi kelas dimunculkan hipotesis, dan siswa dimasukkan pada kelompok kerja untuk membuat implikasi deduktif dan merancang percobaan, atau langkah ini dapat juga dilakukan dalam diskusi kelas.
e)Siswa melakukan percobaan.
f)        Fase Pengenalan Istilah : Data dibandingkan dan dianalisis, istilah diperkenalkan, dan kesimpulan dibuat.
g)Fase Penerapan Konsep : Fenomena didiskusikan atau digali dengan menggunakan konsep-konsep sejenis.

2. Model Pembelajaran Sains-Teknologi-Masyarakat
Yager (1992:20) mendefinisikan STS (Science Technology Society) atau Sains Teknologi Masyarakat sebagai belajar dan mengajar mengenai sains/teknologi dalam konteks pengalaman manusia. Yager mengutip NSTA (National Science Teachers Association) memerikan ciri-ciri khas pembelajaran dengan model STS. Beberapa ciri khas model  STS tersebut antara lain : 1) siswa mengidentifikasi masalah-masalah yang ada di daerahnya dan dampaknya, 2) menggunakan sumber-sumber setempat (nara sumber dan bahan-bahan) untuk memperoleh informasi yang dapat digunakan dalam pemecahan masalah, 3) keterlibatan siswa secara aktif dalam mencari informasi yang dapat diterapkan untuk memecahkan masalah, 4) penekanan pada keterampilan proses sains, agar dapat digunakan oleh siswa dalam mencari solusi terhadap masalahnya, dan 5) sebagai perwujudan otonomi setiap individu dalam proses belajar.
Poedjiadi et.al, (1994:9) menyatakan bahwa “…STM menitikberatkan pada penyelesaian masalah dan proses berpikir yang melibatkan transfer jarak jauh, artinya menerapkan konsep yang diperoleh di sekolah pada situasi di luar sekolah, yaitu yang ada di masyarakat”. Selanjutnya Poedjiadi menjelaskan bahwa ciri utama model pembelajaran  STS/STM adalah dengan memunculkan isu sosial di awal pengajaran. Sebelum guru mengajar sudah memiliki isu yang sesuai dengan konsep yang akan diajarkan.
             Horsley, et.al, (1990:59) mengemukakan bahwa pembelajaran sains dan teknologi diperlukan agar konsisten dengan cara-cara para ahli dalam melakukan penyelidikan yang bersifat ilmiah dan teknologi. Model pembelajaran sains dan teknologi melibatkan siswa dalam kegiatan-kegiatan penyelidikan, mengkonstruksi makna yang mereka temukan, mengajukan penjelasan dan solusi yang masih tentatif, menelusuri kembali konsep-konsep, dan menilai konsep-konsep yang dijadikan rujukan. Model pembelajaran sains dan teknologi yang berorientasi pada konstrukstivisme dengan model STS yang diajukan oleh Horsley, et.al, (1990:59), Carin (1997:74), dan Yager (1992:15) meliputi empat tahap, yaitu tahap invitasi, tahap  eksplorasi, penemuan, dan penciptaan, tahap pengajuan penjelasan dan solusi, serta tahap pengambilan tindakan. Sedangkan Poedjiadi (1996:6,7) mengemukakan lima tahap pembelajaran dengan model  STM, yaitu meliputi : tahap apersepsi, inisiasi, invitasi atau eksplorasi; tahap pembentukan konsep; tahap aplikasi konsep untuk penyelesaian masalah; tahap pemantapan konsep, dan tahap evaluasi.
Tahapan pembelajaran sains dengan model STS menurut Carin (1997:74), Horsley et.al, (1990:59), dan Yager (1992:15) tersebut dapat diilustrasikan seperti bagan 2. berikut ini.

BAGAN 2
 TAHAPAN PEMBELAJARAN SAINS DAN TEKNOLOGI
DENGAN MODEL STS




















Text Box: SAINS
Text Box: TEKNOLOGI




Berasal dari pertanya-an ten-tang alam
 




Berasal dari masalah adaptasi manusia terhadap lingkungannya
 





Strategi pemecahan masalah
 



Metode inkuiri
 



Penjelasan tentang fenomena di alam
 



Solusi terhadap masalah adap-tasi manusia
 




Aplikasi berupa tindakan personal dan sosial
 

 





0




Aplikasi berupa tindakan personal dan sosial
 
 






( Diadaptasi dari Carin1997:74 dan Horsley, 1990:59)
            
            

Tahap-tahap pembelajaran Sains/Teknologi dengan MODEL  STS yang meliputi invitasi, eksplorasi, pengajuan penjelasan dan solusi, serta pengambilan tindakan ini merupakan suatu siklus belajar karena proses belajar tidak selesai pada suatu tahap tertentu saja. Proses belajar dari satu tahap ke tahap lainnya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, dan apabila proses belajar belum tuntas sampai pada tahap pengambilan tindakan,  maka dapat kembali ke tahap awal, yaitu tahap invitasi dan seterusnya.
Model pembelajaran STS ini telah dikembangkan oleh  Robert E. Yager dan kawan-kawa pada tahun 1983 di Universitas Iowa. Dalam mengembangkan model pembelajaran ini, mereka bekerja sama dengan sekitar 50 guru setiap tahun. Kerjasama itu bertujuan untuk membantu guru-guru dalam mengajar untuk mencapai lima tujuan utama. Tujuan-tujuan itu dikarakteristikkan sebagai “domain”. Domain-domain itu meliputi domain konsep, proses, aplikasi, kreativitas, dan sikap.
Domain konsep
                Domain konsep memfokuskan pada muatan sainsnya. Domain ini meliputi fakta-fakta, prinsip, penjelasan-penjelasan, teori-teori dan hukum-hukum.
Domain proses
Domain ini menekankan pada bagaimana proses memperoleh pengetahuan yang dilakukan oleh para saintis. Domain ini meliputi proses-proses yang sering disebut keterampilan proses sains, yaitu sebagai berikut: mengamati, mengklasifikasi, mengukur, menginfer, memprediksi, mengenali variabel, menginterpretasikan data, merumuskan hipotesis, mengkomunikasikan, memberi definisi operasional, dan melaksanakan eksperimen.
Domain Aplikasi
Domain ini menekankan pada penerapan konsep-konsep dan keteramplan-keterampilan dalam memecahkan masalah sehari-hari, misalnya menggunakan proses-proses ilmiah dalam memecahkan masalah yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, memahami dan menilai laporan media massa mengenai pengembangan pengetahuan, pengemabialan keputusan yang berhubungan dengan kesehatan pribadi, gizi, dan gaya hidup yang didasar atas pengetahuan/konsep-konsep sains.
Domain kreativitas
Domain kreativitas terdiri atas interaksi  yang komplek adari keterampilan-keterampilan dan proses –proses mental. Dalam konteks ini, kreativitas terdiri atas empat langkah, iatu tantangan terhadap imajinasi, ( melihat adanya tantangan), inkubasi, kreasi fisik, dan evaluasi
Domain Sikap
Domain ini meliputi pengembangan sikap-sikap positif terhadap sains pada umumnya, kelas sains, program sains, kegunaan belajar sains, dan guru sains, serta yang tidak kalah pentingnya adalah sikap positif terhadap diri sendiri.
Di dalam model pembelajaran Sains-Teknologi-Masyarakat, Yager mengajukan empat tahap sebagai sintak pembelajaran. Tahap-tahap tersebut adalah sebagai berikut.
Penjelasan tahap-tahap model pembelajaran Sains-Teknologi-Masyarakat adalah sebagai berikut.
INVITASI
Pada tahap ini guru merangsang  siswa mengingat atau menampilkan kejadian-kejadian yang ditemui baik dari media cetak  maupun media elektronik yang berkaitan dengan topik yang merupakan hasil observasi.
Selanjutnya siswa merumuskan masalah yang akan dicari jawabannya dengan tetap mengaitkan kepada topik yang dibahas, peran guru sangat diperlukan untuk menghaluskan rumusan masalah yang diajukan siswa dan mengacu kepada sumber belajar, bisa berupa LKS yang telah ada atau menyiapkan LKS yang baru. Guru dan siswa mengidentifikasi bersama mengenai masalah atau pertanyaan dan jawaban sementara yang paling mungkin dilakukan dengan mempertimbangkan keadaan lingkungan dan alokasi waktu pembelajaran serta topik.
EKSPLORASI
Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan siswa merupakan upaya untuk mencari jawaban atau menguji jawaban sementara yang telah dibuat dengan mencari data dari berbagai sumber informasi (buku, koran, majalah, lingkungan, nara sumber, instansi terkait, atau melakukan percobaan). Hasil yang diperoleh siswa hendaknya berupa suatu hasil analisis dari data yang diperoleh.
Kegiatan yang dilakukan siswa dapat mengacu kepada LKS yang telah ada untuk topik tersebut atau dapat juga mengembangkan sendiri berdasarkan LKS yang telah ada atau membuat LKS yang baru.
Kegiatan siswa dapat berlangsung di dalam kelas, halaman sekolah, atau di luar sekolah yang diperkirakan memungkinkan dilakukan oleh siswa.
Kegiatan siswa pada tahap ini di anataranya dapat berupa iur pendapat, mencari informasi, bereksperimen, mengobservasi fenomena khusus, mendesain model, dan mendiskusikan pemecahan masalah.
PENJELASAN DAN SOLUSI
Pada tahap ini siswa diajak untuk mengkomunikasikan gagasan yang diperoleh dari analisis informasi yang didapat, menyusun suatu model penjelasan (baru), meninjau dan mendiskusikan solusi yang diperoleh, dan menentukan beberapa solusi. Guru membimbing siswa untuk memadukan konsep yang dihasilkannya dengan konsep yang dianut oleh para ahli sains. Peran guru hendaknya dapat menghaluskan atau meluruskan konsep siswa yang keliru.
PENENTUAN TINDAKAN
Pada tahap ini siswa diajak untuk membuat suatu keputusan dengan mempertimbangkan penguasaan konsep sains dan keterampilan yang dimiliki untuk berbagai gagasan dengan lingkungan, atau dalam kedudukan siswa sebagai pribadi atau sebagai anggota masyarakat.
Siswa juga diharapkan merumuskan pertanyaan lanjutan dengan ditemukannya suatu penjelasan terhadap fenomena alam (konsep sains), dan juga mengadakan pendekatan dengan berbagai unsur untuk meminimalkan dampak negatif suatu hal atau yang merupakan tindakan positif suatu masyarakat.
Pengambilan tindakan ini di antaranya dapat berupa kegiatan pengambilan keputusan, penerapan pengetahuan dan keterampilan, membagi informasi dan gagasan,dan mengajukan pertanyaan baru
3.Model Pembelajaran Generative Learning
Model pembelajaran generatvef learning ( belajar generatif) dikemukakan oleh Wittrock. Ia memandang bahwa pebelajar dalam belajar harus secara aktif mengkonstruk (construct) atau membangkitkan (generate) arti/makna dari input inderawi, misalnya dari penglihatannya, pendengarannya, penciumannya dan sebagainya. Pengkonstruksian makna hanya dapat dilakukan oleh pebelajar sendiri.
Menurut Osborne dan Wittrock dalam Nggandi Katu (1998:4), dalam membangun pengetahuannya mengenai alam sekitarnya, pebelajar secara aktif berperan seperti seorang ilmuwan. Dalam melakukan pengamatan, pebelajar mula-mula melakukan seleksi atas informasi yang dianggapnya penting, menafsirkannya berdasarkan pemahaman yang sudah dimilikinya, dan kemudian mengambil kesimpulan yang masuk akal bagi dia.
Wittrock mengkombinasikan gagasannya tentang generative meaning ini dengan pandangan ahli pendidikan lainnya mengenai pemrosesan informasi untuk menghasilkan model belajar generatif. Menurut model ini, terdapat beberapa hal yang perlu diketahui, yaitu sebagai berikut.
1.       Penyimpanan memori pebelajar dan strategi-strategi pemrosesan berinteraksi dengan input  inderawi (rangsangan inderawi)  yang sesuai dari lingkungan dengan cara  aktif menyeleksi dan menyertai sejumlah input dan mengabaikan input-input lainnya.
2.       Input yang terseleksi dan dihadirkan oleh pebelajar, belum bermakna bagi si pebelajar.
3.       Pebelajar membangun hubungan antara input yang masuk dan bagian-bagian dari memori yang disimpannya yang dipandang relevan oleh si pebelajar. Kadang-kadang hubungan yang dibuat si pebelajar tidak diharapkan oleh guru.
4.       Pebelajar memperoleh  informasi dari penyimpanan memori, dan menggunakannya untuk membangun makna dari input inderawi
5.       Pebelajar mungkin menguji makna yang dibangunnya terhadap memori nya dan pengalaman inderawinya
6.       Pebelajar  mungkin memasukkan  hasil pengkontruksiannya ke dalam memorinya. Kadang-kadang gagasan-gagasan baru mudah diakomodasikan dengan gagasan-gagasan yang telah ada sebelumnya
7.       Pebelajar akan menempatkan beberapa status terhadap konstuksi/bentukan baru, walaupun hal itu tanpa disadarinya. Seringkali, bentukan baru itu dan gagasan-gagasan yang telah ada dalam memori akan dipertahankan  secara bersama dan dalam beberapa waktu kemudian salah satu status itu akan berbambah dan yang lainnya akan berkurang.
Model pembelajaran generatif mempunyai urutan atau tahapan sebagai berikut.
FASE
KEGIATAN GURU
KEGIATAN SISWA
Persiapan
(preliminary)
Menegaskan pandang an siswa; mengklasi fikasi pandangan siswa, mencari pandangan ilmiah,mengidentifikasi pandangan historis, me ninjau bukti-bukti yang menyebabkan orang  meningkan pandangan lama.
Melengkapi pengamatan atau kegiatan-kegiatan lain, merancang penem- patan.gagasan-gagasan yang telah ada.
Fokus
(Focus)
Menentukan konteks, memberikan pengala- man yang memotivasi, mengajukan pertanyaan terbuka, menginterpre tasikan respon siswa, menginterpretasikan dan menjelaskan pandangan siswa.
Mengenali bahan-bahan yang digunakan untuk mengeksplorasi konsep,.
Memikirkan apa yang terjadi, mengajukan perta nyaan yang berhubungan dengan konsep.
Memutuskan dan menjelaskan apa yang siswa ketahui mengenai peristiwa, menggunakan masukan dari kelas dan dari rumah.
Memberikan klarifikasi terhadap pandangannya sendiri mengenai konsep yang dipelajarinya.
Menyajikan pandangannya terhadap kelompok, kelas melalui diskusi dan pameran
Tantangan
(Challenge)
Memfasilitasi pertukaran pandangan.
Memastikan semua pandangan dipertimbangkan.
Menjaga suasana diskusi agar tetap terbuka.
Menyarankan demonstrasi bila diperlukan.
Menyajikan bukti-bukti pandangan saintis
Menerima sifat tentatif dari reaksi siswa terhadap pandangan baru .
Mengajukan masalah yang pemecahannya sederhana dan dapat dipecahkan dengan pandangan ilmiah yang telah diterima secara umum.
Meninjau pandangan dari:
Siswa lainnya dalam kelompok, siswa lainnya dalam kelas, mencari kebaikan dan kelemahan
Menguji validitas pandangan dengan cara mencari bukti-bukti.
Membandingkan pandangan saintis dan pandangan kelas.
Penerapan
(application)
(Application)
Membantu siswa untuk menjelaskan pandangan baru, meminta siswa bahwa hal itu dapat digunakan untuk menjelaskan seluruh pemecahan masalah.
Meyakinkan siswa dapat menjelaskan pemecahan masalah secara verbal.
Guru turut serta, dan mendorong, serta berkontribusi dalam diskusi untuk pemecahan masalah.
Membantu siswa dalam memecahkan masalah, mengembangkan masalah, menyarankan sumber-sumber belajar yang dapat diperoleh untuk membantu pemecahan masalah.
Memecahkan masalah- dengan menggunakan konsep-konsep sebagai dasar.
Menyajikan pemecahan masalah  terhadap siswa lain di kelas.
Mendiskusikan dan berargumentasi tentang kebaikan pemecahan masalah, menilai secara kritis terhadap pemecahan masalah.
Menyarankan masalah-masalah lainnya yang timbul dari pemecahan masalah yang telah disajikan.



Model belajar generatif yang telah diadaptasi oleh Nggandi Katu meliputi lima fase, yaitu  adalah sebagai berikut.
1.       TAHAP PENGINGATAN (Elicitation)
Pada bagian awal dari pelajaran, guru melibatkan siswa dalam diskusi yang bertujuan menggali pengalaman dan pemahaman mereka mengenai topik yang akan dibahas. Mereka diajak untuk mengungkapkan apa yang mereka fahami dan alami dalam kehidupan sehari-hari mengenai topik yang sedang dibahas. Mereka diminta mengomentari pendapat teman sekelas dengan membandingkannya dengan pendapat sendiri. Tujuan dari tahap pengingatan ini adalah untuk menarik perhatian mahasiswa terhadap pokok yang sedang dibahas, membuat pemahaman mereka menjadi eksplisit, dan membuat mereka sadar akan variasi pendapat di antara mereka sendiri. Untuk mendapat suasananya kondusif, guru diharapkan tidak menilai mana pendapat yang “salah” dan mana pendapat yang “benar”. yang perlu dilakukan adalah membuata para siswa berani mengungkapkan pendapatnya tanpa takut disalahkan. Guru dapat mengatur agar suasana diskusi menjadi hidup. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan guru sebaiknya merupakan pertanyaan-pertanyaan terbuka yang memberi kemungkinan siswa atau mahasiswa mengungkapkan idenya sebanyak mungkin.
2.       TAHAP TANTANGAN DAN KONFRONTASI (Challenge and Confrontation)
Setelah guru mengetahui pandangan sebagai siswanya, dia kemudian mengajak mereka untuk mengemukakan fenomena atau gejala yang diperkirakan muncul dari suatu peristiwa yang akan didemosntrasikan kemudian. Mereka diminta alasan untuk mendukung dugaan mereka. Mereka juga diajak untuk menanggapi pendapat teman satu kelas mereka yang berbeda dari pendapat sendiri. Guru diharapkan untuk mencatat dan mengelompokkan dugaan dan penjelasan yang muncul di papan tulis. Secara sadar guru mempertentangkan pendapat-pendapat yang berbeda itu. Setelah itu guru  melaksanakan demonstrasi dan meminta siswa untuk mengamati dengan seksama gejala yang muncul. Guru perlu memberi kesempatan kepada mereka untuk mencerna apa yang mereka amati. Diharapkan, bagi mereka yang dugaannya berbeda dengan yang mereka amati, akan merasa terganggung dan mengalami konflik konseptual dalam pikirannya. Setelah itu barulah guru menanyakan apakah gejala yang mereka amati itu sesuai atau tidak dengan perkiraan mereka. Dengan menggunakan cara dialog yang timbal balik dan saling melengkapi, diharapkan mereka dapat menemukan jawaban atas gejala yang mereka amati. Dalam hal ini guru menyiapkan perangkat demonstrasi, Tampilan gambar, atau grafaik yaang dapat membantu siswa menemukan alternatif jawaban atas gejala yang diamati.
3.       TAHAP REORGANISASI DARI KERANGKA KERJA KONSEP (Restructuring of the Conceptual Framework)
Pada tahap ini guru membantu para siswa dengan mengusulkan alternatif tafisran yang diterima pada ilmuwan dan menunjukkan bahwa pandangan yang dia usulkan dapat menjelaskan dengan koheren gejala yang mereka amati. Siswa diberikan beberapa persoalan sejenis dan menyarankan mereka menjawabnya dengan pandangan alternatif yang diusulkan guru. Diharapkan mereka akan merasakan bahwa pandangan baru dari guru tersebut mudah dimengerti, masuk akal, dan berhasil dalam menjawab berbagai persoalan. Diharapkan siswa mulai mereorganisasi kerangka berpikir mereka dengan melakukan perubahan struktur dan hubungan antar konsep-konsep. Proses reorganisasi ini tentu membutuhkan waktu.
4.       TAHAP PENERAPA (Application)
Dalam tahap ini guru memberikan berbagai persoalan dengan konteks yang berbeda untuk diselesaikan oleh para siswa atau mahasiswa dengan kerangka konsep yang telah mengalami restrukturiasi. Maksudnya agar para siswa atau mahasiswa dapat menerapkan pemahaman baru mereka pada situasi dan kondisi yang baru. Keberhasilan mereka menerapkan pengetahuan dalam situasi baru akan membuat para siswa atau mahasiswa makin yakin akan keunggulan kerangka kerja konseptual mereka yang sudah direorganisasi. Pelataihan ini dimaksudkan juga untuk lebih menguatkan hubungan antar konsep di dalam kerangka berpikir yang baru mengalami reorganisasi.
5.       TAHAP MENILAI KEMBALI (Review)
Dalam suatu diskusi guru atau dosen mengajak siswa atau mahasiswa untuk membandingkan kerangka berpikir baru dari hasil reorganisasi dengan apa yang sebelumnya mereka miliki. Mereka diminta menilai kelemahan dari struktur berpikir mereka yang lama.
















DAFTAR PUSTAKA
Donald R, Daugs and Jay A. Monson, (tanpa tahun), Science, Technology, and Society A Primer For Elementary Teachers, Logan: Utah State University.
Joyce and Weil, 1980, Models of Teaching, Second Edition, New Jersey: Prentice Hall, Inc.
Indrawati, 1998, Apa, Mengapa, dan Bagaimana Pendekatan STS, makalah pada pelatihan Pendidikan Lingkungan Hidup.
Katu, Nggandi, 1999, Belajar sebagai kegiatan aktif Setiap Individu dalam mengkontruksi Pengetahuan, makalah disajikan dalam Seminar//Lokakarya Pengembangan Cara Pembelajaran IPA di PPPG IPA Bandung, Tanggal 17-18 Juni 1999.
Tobing, Rangke L , Setia Adi, Hinduan, 1990, Model-Model mengajar Metodik Khusus Pendidikan Ilmu pengetahuan Alam Sekolah Dasar, makalah dalam penataran Calon Penatar Dosen Pendidikan Guru SD (Program D-II)
Wilkins, Robert A, 1990, Model Lessons Bridging the gap between models of teaching and classroom application,  Curtin University of Technology

TABEL 1
MODEL-MODEL PEMBELAJARAN
PENGOLAHAN INFORMASI
No
Model
Tokoh
Misi/tujuan/manfaat
1
Berpikir Induktif
Hilda Taba
Terutama ditujukan untuk pembentukan kemampuan berpikir induktif yang banyak diperlukan dalam kegiatan akademik meskipun diperlukan juga untuk kehidupan pada umumnya.
2.
Latihan inkuari
Richard Suchman
s.d.a
3.
Pembentuk
an konsep
Jerome Bruner
Dirancang terutama untuk pembentukan kemampuan berpikir induktif, tetapi juga untuk pengembangan konsep dan analisis
4
Perkembang
an kognitif
Jean Piaget
Irving Sigel
Edmun Sullivan
Lawrence Kohlberg
Dirancang terutama untuk pembentukan kemampuan berpikir/pengembangan intelektual pada umumnya, khususnya berpikir logis, meskipun demikian kemampuan ini dapat diterapkan pada kehidupan sosial dan pengembangan moral.

5.
Advance Organizer
David Ausubel
Dirancang untuk meningkatkan kemampuan mengolah informasi dan
6.
Memori
Harry Lorayne
Jerry Lucas

(Dikutip dari  Bruce Joyce dan Marsha Weil, 1980, Models of Teaching, Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall, Inc.)